Kajian Sospol – Genosida dan Krisis Kemanusiaan di Dunia
Kata genosida pertama kali diperkenalkan oleh Raphael Lemkin. Dalam tulisannya, Lemkin mengatakan bahwa Kejahatan genosida mencakup tindakan yang luas, tidak hanya pembunuhan tapi juga mencegah adanya keturunan dan juga sarana yang dianggap membahayakan nyawa dan kesehatan (pemisahan keluarga secara paksa dengan tujuan untuk mengurangi populasi, dan sebagainya)
Dalam hukum internasional, genosida diatur di dalam beberapa instrumen internasional, di antaranya adalah Konvensi Genosida pada tahun 1948 dan Statuta Roma pada tahun 1998. Konvensi Genosida dan Statuta Roma mencantumkan pengertian genosida yaitu sebagai berikut:
“Genosida berarti setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya:
(a). Membunuh anggota kelompok tersebut;
(b). Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;
(c). Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;
(d). Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut;
(e). Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.”
Selanjutnya, Konvensi Genosida juga menjelaskan bahwa genosida dilarang untuk dilakukan baik dalam waktu perang maupun dalam masa damai karena merupakan tindakan kriminal dalam hukum internasional, sebagaimana tercantum sebagai berikut:
“The Contracting Parties confirm that genocide, whether committed in time of peace or in time of war, is a crime under international law which they undertake to prevent and to punish.”
Saat ini, kasus Genosida yang ramai diperbincangkan yaitu kasus Rohingya di Myanmar. Jika kita telusuri lagi, sebenarnya konflik di Myanmar yang melibatkan suku Rohingya ini sudah berlangsung sangat lama, bahkan sejak tahun 1785. Konflik yang awalnya hanya bermula dari keraguan akan status kewarganegaraan suku Rohingya, mulai berujung pada kasus kekerasaan.
Pada tahun 2001 merupakan puncak dari konflik suku ini bergejolak lebih tragis, dimana ada suku Rachine dan Rohingnya yang dipicu adanya tindakan kekerasan seksual dan pembunuhan dari kedua suku ini. Setelah 15 tahun konflik yang memulai kekerasaan , pada tahun 2016 Pemerintah Myanmar mengambil keputusan yang cukup rasial dengan mencabut kewarganegaraan suku Rohingya yang mengakibatkan suku Rohingya harus mengungsi ke berbagai Negara, termasuk Indonesia. Dan, pada tanggal 25 Agustus 2017 yang disebut juga sebagai peristiwa “Black Friday”, dengan dalih mencari pelaku penyerangan , pemerintah Myanmar justru memperburuk kondisi. Di mana pasukan Myanmari dilaporkan telah menghabisi kurang lebih 100 nyawa penduduk Rohingya. Ini sangat tragis, dimana pemerintah seharusnya turut melindungi nyawa warga Negara, justru malah sebaliknya.
Kasus Genosida Rohingya merupakan kasus yang cukup sensitif, dikarenakan kasus ini turut membawa “agama”. Karena dua pihak yang berkonflik memiliki kepercayaan yang berbeda, yaitu Agama Buddha dan Islam. Banyak Negara – Negara Islam melakukan demonstrasi dan mengecam PBB karena lambat dalam mengatasi kasus Rohingya dikarenakan unsur agama.
Jika dilihat dari luar memang seperti itu, tetapi menurut Kepala bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum, Siegfried O Wolf, krisis ini lebih bersifat politis dan ekonomis.
Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut Muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha.
Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi.
“Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok,” kata Siegfried O Wolf saat diwawancarai oleh media Jerman Deutsche Welle (DW).
Sumber :
https://indonesiana.tempo.co/read/116092/2017/09/04/merlynjuji/data-sejarah-dan-krisis-kemanusiaan-etnis-rohingya