Kajian Sospol – Indonesia saat ini

Korupsi, adalah suatu hal yang telah mendarah daging sejak nenek-moyang dahulu. Sejarah telah memperlihatkan bahwa korupsi sudah ada dari zaman kerajaan dahulu yang dilatarbelakangi kepentingan personal atau golongan, kekuasaan bahkan kekayaan

Contohnya pada zaman kerajaan-kerajaan kuno (Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya.

“Pelajaran menarik pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi cikal bakal (embrio) lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita dikmudian hari.” (Herdiansyah Hermansyah)

Selanjutnya beralih ke zaman penjajahan, kolonial belanda, dimana korupsi masuk ke dalam sistem sosial-politik bangsa indonesia dimana hal ini sangat berkembang pada tokoh lokal yang dijadikan  badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah dan keinginan pribadinya.

Setelah kemerdekaan “budaya” ini semakin menjadi-menjadi,bahkan alih-alih persatuan bangsa dengan diraihnya kemerdekaan tidak mampu menghilangkan sifat KKN (korupsi kolusi nepotisme) ini. Dimana ada sebuah istilah yang mengatakan bahwa saat ini kita sedang dijajah oleh bangsa kita sendiri dimana secara emosional hal ini jauh lebih menyakitkan dibandingkan yang dilakukan penjajah asing dahulunya. Tidak ada kasus korupsi yang selesai dengan tuntas. Semuanya pasti meninggalkan tanda tanya besar dimana ujungnya drama kejam ini.

Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan adanya kasus korupsi e-ktp yang melibatkan banyak pihak di pemerintahan dan digadang-gadang bahwa kasus ini merupakan kegiatan korupsi terbesar yang pernah terjadi di indonesia. Kasus ini telah bergulir sejak tahun 2011. Dan pada tahun 2017 ini disidangkan oleh PN Tipikor.  Selain oleh KPK, sebenarnya kasus ini pernah diusut oleh Polri dan Kejaksaan Agung. Megaproyek e-KTP mulanya direncanakan senilai Rp 6,9 triliun. Kemendagri menyiapkan anggaran sebesar Rp 6 triliun pada 2010 untuk proyek yang direncanakan rampung pada 2012 ini. Setelah ditenderkan, anggaran e-KTP menjadi Rp 5,9 triliun. Ada 5 korporasi yang menjadi pemenang tender dalam proyek ini. KPK menetapkan tersangka pertama untuk kasus e-KTP pada 22 April 2014. Tersangka pertama itu adalah eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sugiharto. KPK baru mengumumkan total kerugian negara dalam kasus ini pada 2016, yakni sebesar Rp 2,3 triliun. Dari angka tersebut, sebanyak Rp 250 miliar dikembalikan kepada negara oleh 5 korporasi, 1 konsorsium, dan 14 orang. Total ada 280 saksi yang dipanggil KPK sebagai saksi terkait dengan skandal e-KTP ini. KPK lalu menetapkan 1 orang lagi sebagai tersangka, yakni eks Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman pada 30 September 2016. Kasus ini dilimpahkan oleh KPK ke PN Tipikor pada 1 Maret 2017. Ada 24 ribu lembar berkas kasus dan 122 halaman dakwaan dalam kasus ini.

Dari gambaran satu kasus yang ada tersebut dapat kita lihat bahwa korupsi untuk memeranginya harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai mahasiswa kita wajib memerangi korupsi dimulai dari langkah terkecil yaitu dengan bertindak jujur dalam setiap tindakan akademis, organisasi, maupun kehidupan sosial kita dalam berbangsa dan bernegara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *